ILMU MANTIQ
Minda adalah satu keta'juban Illahiyat, yang sekiranya tersingkap hijab, maka minda insan seolah terapung tanpa jasad.Bagaimana 'terhakisnya ilmu2 'manusia dibandingkan dengan 'gelombang kesaksian' dilapangan 'Al-Wadi Al-Muqaddas'/Alam Zat semata.
'Alam Barzah' adalah sebahgian dari ilmu Al-Malakut yang 'tidak dapat disaksikan olih mata jsim dan juga matahati'.
Minda adalah satu keta'juban Illahiyat, yang sekiranya tersingkap hijab, maka minda insan seolah terapung tanpa jasad.Bagaimana 'terhakisnya ilmu2 'manusia dibandingkan dengan 'gelombang kesaksian' dilapangan 'Al-Wadi Al-Muqaddas'/Alam Zat semata.
'Alam Barzah' adalah sebahgian dari ilmu Al-Malakut yang 'tidak dapat disaksikan olih mata jsim dan juga matahati'.
IMAM AL-GHAZALI DAN ILMU MANTIK
Apa itu mantik ?
saya tidak usah berpanjang lebar membahas defenisi mantik , karena defenisi mantik oleh kalangan filosof dan para pemikir berbeda-beda, tapi mereka sepakat dengan satu defenisi yaitu: Al-Mantiq huwa alatun Qanuniyyatun tu’shimu anil-khata’ fil-fikri,artinya alat atau undang-undang yang menjaga dari kesalahan berfikir. Jadi mantiq itu hanyalah berisi undang-undang atau kaidah-kaidah berpikir, bedanya dengan undang-undang nahu adalah menjaga kita dari kesalahan berbicara.
Bagaimana posisi anda diantara dua kubu yang berbeda argumen terhadap mantik?
Singkat cerita bahwa Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah mengundang kontraversi dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian. Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali, namun ia tidak bisa.” Lalu datang Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa mesti belajar mantik. Lalu datang lagi Ibn Taimiah berkomentar dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal-Mantiqiyyin bahwa, “Pendapat Al Ghazali ini salah besar, baik dilihat dari segi nalar maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”
Pada poin ini saya juga tidak mau berkomentar panjang , saya hanya ingin menyelipkan perkataan DR ali jum’ah rahimahullah bahwa golongan ulama memiliki mustalahat atau istilah dan rumus masing-masing, filosof mempunyai mustalahat lewat pemahaman mantiknya , ulama kalam juga memeiliki mustalahat, ulama fuqaha juga memiliki istilah lewat pengkajiannya terhadap usul fikhinya, ahli tasawuf juga memiliki istilah-istilah dan rumus tersendiri, begitu pula ulama-ulama yang lainnya.
Al-Mantiq Wal-Mawazin Al-Quraniyyah
Saya membaca mantiknya Imam Al-ghazali dari buku “ Al-mantiq Wal-Mawazin Al-Qur’aniyyah yang dikarang oleh Muhammad Mahran, singkatnya, Imam Al-ghazali memadukan antara mantik yunani dan mawazin qur’aniyyah atau neraca quran, dari sinilah Imam Ghazali membuat istilah-istilah mantik baru dari al-qur’an, walaupun fungsi istilah itu sama dengan istilah mantik yunani yang disusun oleh aristo.
Menariknya dalam kitab itu bahwa Imam Al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mawazin qur’aniyyah), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk dalil burhan, ia berkata:
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)
Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhan
Al Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan mizan akbar atau neraca besar.
Berikutnya adalah Al-mizan Al-Ausath atau neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:
Bulan tenggelam
Tuhan tidak mungkin tenggelam
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan
Skema terakhir dari neraca ta’adul adalah mizan asghar atau neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusia
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu
Mizan talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur
Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain
Terakhir, neraca ta’anud (saya tidak tahu bahasa indonesianya hehe) terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan
Hebatnya imam al-ghazali menempatkan kaidah-kaidah mantiq dari al-qur’an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan selanjutnya beliau mengatakan “barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan”
Bantahan Ibnu Taimiyyah terhadap mantik Imam Ghazali
Ibn Taimiah membantah penafsiran kata Al Mizan dalam Al Qur’an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Mizan Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Mizan Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik dan menulis bantahan-bantahannya. Neraca yang Allah turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taimiah Neraca keseimbangan (mizan ‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain).
Ibnu taimiyyah juga membantah muqaddimah-muqaddimah atau premis-premis yang digunakan ahli mantik dalam menemukan natijah, Menurut Ibn Taimiah, silogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan dan kepusingan. Tapi disatu sisi Ibn Taimiah mengakui bahwa sebuah silogisme yang terdiri dari premis-premis meyakinkan menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Sebenarnya Kritik Ibn Taimiah hanya ditujukan kepada pernyataan mereka bahwa silogisme satu-satunya cara mencapai kesimpulan yang meyakinkan dengan menafikan cara-cara lainnya.
Oleh karena itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil silogisme ini. Sebab menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan. Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada ma’rifah dan hakikat. Mereka lebih menyukai pembuktian dengan dalil tamsil, sebab pembuktian ini lebih meyakinkan dan lebih dekat dengan metode Al Qur’an. Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu me-lazim-kan sesuatu yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan. Contoh: adanya alam semesta dalil adanya pencipta. Selain itu, pembuktian ini juga bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata (imkan khariji), bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum tentu ada kenyataannya.
Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat terjadinya sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit darinya. Ini cara Al Qur’an dalam membuktikan adanya hari kebangkitan. Yakni dengan menguraikan fakta historis terjadinya kebangkitan orang yang telah mati sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi), dan mukjizat Nabi Isa. Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia, sebab menghidupkan kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama kali.
Penutup
Sebenarnya masih banyak poin pembahasan Mantik Al-Ghazali yang tidak bisa dimuat dalam tulisan ini dan juga bantahan ibnu taimiah terhadap ahli mantiq yang terangkum dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal-Mantiqiyyin, bagi saya, 2 ilmuwan inilah yang saya kagumi , imam ghazali yang dijuluki hujjatul-islam karena hebatnya menemukan sebuah hakikat dan sementara ibnu taimiyyah sebagai syaikhul islam, juga menampakkan hebatnya membantah mantik dengan mantik sehingga saya hanya bisa terdiam ketika mereka berbeda pandangan, untungnya mereka tidak bertemu dalam satu masa, entah apa yang akan terjadi. Untuk sementara , saya belum bisa berkomentar , apalagi mau menghakimi keduanya tapi tunggu beberapa tahun mendatang semoga kelak bisa menjadi ilmuwan besar, amin.
Dan terakhir, saya menukil mauqif Dr Said Ramadhan Al Buthi mengatakan bahwa Kami tidak mau mengatakan bahwa filsafat Yunani dan Mantik Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dari kaidah-kaidah mantiknya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, dari pada menolaknya sama sekali.”. kawan, Anggap saja ini sebuah hipotesa
Apa itu mantik ?
saya tidak usah berpanjang lebar membahas defenisi mantik , karena defenisi mantik oleh kalangan filosof dan para pemikir berbeda-beda, tapi mereka sepakat dengan satu defenisi yaitu: Al-Mantiq huwa alatun Qanuniyyatun tu’shimu anil-khata’ fil-fikri,artinya alat atau undang-undang yang menjaga dari kesalahan berfikir. Jadi mantiq itu hanyalah berisi undang-undang atau kaidah-kaidah berpikir, bedanya dengan undang-undang nahu adalah menjaga kita dari kesalahan berbicara.
Bagaimana posisi anda diantara dua kubu yang berbeda argumen terhadap mantik?
Singkat cerita bahwa Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah mengundang kontraversi dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian. Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali, namun ia tidak bisa.” Lalu datang Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa mesti belajar mantik. Lalu datang lagi Ibn Taimiah berkomentar dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal-Mantiqiyyin bahwa, “Pendapat Al Ghazali ini salah besar, baik dilihat dari segi nalar maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”
Pada poin ini saya juga tidak mau berkomentar panjang , saya hanya ingin menyelipkan perkataan DR ali jum’ah rahimahullah bahwa golongan ulama memiliki mustalahat atau istilah dan rumus masing-masing, filosof mempunyai mustalahat lewat pemahaman mantiknya , ulama kalam juga memeiliki mustalahat, ulama fuqaha juga memiliki istilah lewat pengkajiannya terhadap usul fikhinya, ahli tasawuf juga memiliki istilah-istilah dan rumus tersendiri, begitu pula ulama-ulama yang lainnya.
Al-Mantiq Wal-Mawazin Al-Quraniyyah
Saya membaca mantiknya Imam Al-ghazali dari buku “ Al-mantiq Wal-Mawazin Al-Qur’aniyyah yang dikarang oleh Muhammad Mahran, singkatnya, Imam Al-ghazali memadukan antara mantik yunani dan mawazin qur’aniyyah atau neraca quran, dari sinilah Imam Ghazali membuat istilah-istilah mantik baru dari al-qur’an, walaupun fungsi istilah itu sama dengan istilah mantik yunani yang disusun oleh aristo.
Menariknya dalam kitab itu bahwa Imam Al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mawazin qur’aniyyah), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk dalil burhan, ia berkata:
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)
Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhan
Al Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan mizan akbar atau neraca besar.
Berikutnya adalah Al-mizan Al-Ausath atau neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (Qs Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:
Bulan tenggelam
Tuhan tidak mungkin tenggelam
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan
Skema terakhir dari neraca ta’adul adalah mizan asghar atau neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusia
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu
Mizan talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur
Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain
Terakhir, neraca ta’anud (saya tidak tahu bahasa indonesianya hehe) terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan
Hebatnya imam al-ghazali menempatkan kaidah-kaidah mantiq dari al-qur’an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan selanjutnya beliau mengatakan “barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan”
Bantahan Ibnu Taimiyyah terhadap mantik Imam Ghazali
Ibn Taimiah membantah penafsiran kata Al Mizan dalam Al Qur’an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Mizan Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Mizan Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik dan menulis bantahan-bantahannya. Neraca yang Allah turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taimiah Neraca keseimbangan (mizan ‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain).
Ibnu taimiyyah juga membantah muqaddimah-muqaddimah atau premis-premis yang digunakan ahli mantik dalam menemukan natijah, Menurut Ibn Taimiah, silogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan dan kepusingan. Tapi disatu sisi Ibn Taimiah mengakui bahwa sebuah silogisme yang terdiri dari premis-premis meyakinkan menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Sebenarnya Kritik Ibn Taimiah hanya ditujukan kepada pernyataan mereka bahwa silogisme satu-satunya cara mencapai kesimpulan yang meyakinkan dengan menafikan cara-cara lainnya.
Oleh karena itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil silogisme ini. Sebab menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan. Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada ma’rifah dan hakikat. Mereka lebih menyukai pembuktian dengan dalil tamsil, sebab pembuktian ini lebih meyakinkan dan lebih dekat dengan metode Al Qur’an. Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu me-lazim-kan sesuatu yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan. Contoh: adanya alam semesta dalil adanya pencipta. Selain itu, pembuktian ini juga bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata (imkan khariji), bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum tentu ada kenyataannya.
Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat terjadinya sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit darinya. Ini cara Al Qur’an dalam membuktikan adanya hari kebangkitan. Yakni dengan menguraikan fakta historis terjadinya kebangkitan orang yang telah mati sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi), dan mukjizat Nabi Isa. Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia, sebab menghidupkan kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama kali.
Penutup
Sebenarnya masih banyak poin pembahasan Mantik Al-Ghazali yang tidak bisa dimuat dalam tulisan ini dan juga bantahan ibnu taimiah terhadap ahli mantiq yang terangkum dalam kitabnya Ar-Radd ‘Alal-Mantiqiyyin, bagi saya, 2 ilmuwan inilah yang saya kagumi , imam ghazali yang dijuluki hujjatul-islam karena hebatnya menemukan sebuah hakikat dan sementara ibnu taimiyyah sebagai syaikhul islam, juga menampakkan hebatnya membantah mantik dengan mantik sehingga saya hanya bisa terdiam ketika mereka berbeda pandangan, untungnya mereka tidak bertemu dalam satu masa, entah apa yang akan terjadi. Untuk sementara , saya belum bisa berkomentar , apalagi mau menghakimi keduanya tapi tunggu beberapa tahun mendatang semoga kelak bisa menjadi ilmuwan besar, amin.
Dan terakhir, saya menukil mauqif Dr Said Ramadhan Al Buthi mengatakan bahwa Kami tidak mau mengatakan bahwa filsafat Yunani dan Mantik Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dari kaidah-kaidah mantiknya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, dari pada menolaknya sama sekali.”. kawan, Anggap saja ini sebuah hipotesa
No comments:
Post a Comment